Blogger templates

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Kamis, 13 Maret 2014

Karakteristik Fisik Asteroid Vesta

Asteroid Vesta. Credit: Ben Zellner (Georgia Southern University) / Peter Thomas (Cornell University) / NASA
Vesta merupakan asteroid terbesar kedua di sabuk asteroid diantara planet Mars dan Jupiter. asteroid ini unik karena pada permukaannya terdapat bagian yang terang dan gelap seperti di Bulan. Berdasarkan pengamatan, Vesta memiliki daerah basaltik yang berarti bahwa lava pernah mengalir di permukaannya. asteroid Vesta tampak terang di langit malam dan terkadang bisa dilihat dengan mata telanjang. Berikut ini adalah karakteristik asteroid Vesta seperti yang dikutip dari space.com, Jum'at (30/09/2011):
  • Diameter: 530 km 
  • Mass: 2.67 x 10^20 kg 
  • Temperature: 85-255 K 
  • Albedo: 0.4322 
  • Rotation period: 5.342 hours 
  • Orbital period: 3.63 years 
  • Eccentricity: .0886 
  • Aphelion: 2.57 AU 
  • Perihelion: 2.15 AU 
  • Closest approach to Earth: 1.14 AU 
Saat Vesta berada dekat melintasi Bumi pada tahun 1996, Teleskop Hubble memetakan topografi dari permukaan asteroid dan disini terungkap kawah besar pada kutub selatan asteroid. Lubang kawah tersebut berdiameter 460 km dan yang perlu diketahui, Vesta sendiri memiliki diameter hanya 530 km. Kemungkinan kawah tersebut terbentuk tabrakan pada awal terbentuknya asteroid tersebut. Materi yang keluar dari tabrakan ini menjadi vestoid, asteroid yang mengorbit dengan galaksi asal, serta sebagian menjadi meteorit yang jatuh ke Bumi.

Tidak seperti asteroid lainnya, bagian dalam Vesta sangat berbeda. Seperti planet, asteroid mempunyai kerak dari lava yang dingin membungkus mantel dan inti besi dan nikel. Sehingga Vesta lebih mirip protoplanet daripada asteroid. Sejarah penemuan asteroid Vesta ini bisa Anda baca disini

NASA: Asteroid 2011 AG5 Ancam Tabrak Bumi pada 2040

Ilustrasi asteroid menabrak Bumi. Image credit: starryskies.com
Belum lagi pasti, apakah Bumi akan selamat dari asteroid Apophis, yang menurut para ilmuwan Rusia bakal menabrak Bumi pada 13 April 2036, ancaman baru muncul.

Badan Antariksa Amerika Serikat (NASA) mengidentifikasi sebuah batu angkasa yang memiliki peluang untuk menyenggol Bumi. Besarnya 460 kaki atau 140 meter. Identifikasi NASA menyebut, asteroid yang dinamai 2011 AG5 berpeluang menabrak Bumi pada 5 Februari 2040.

Seperti dimuat Daily Mail, 28 Februari 2012, keberadaan asteroid ini bahkan menjadi perhatian tim aksi objek dekat Bumi bentukan Persatuan Bangsa Bangsa (PBB), yang mulai membahas bagaimana cara untuk mengalihkan orbit batu raksasa ini agar tak menyenggol Bumi. Agar tak membahayakan umat manusia.

Berdasarkan perhitungan NASA yang disampaikan Donald Yeomans, Kepala Program Observasi Obyek Dekat Bumi di Laboratorium Jet Propulsion, peluang asteroid itu bersenggolan dengan Bumi adalah 1:625, prediksi yang bisa terus berubah, seiring pergerakannya yang terus berubah. "Untungnya, obyek ini akan bisa diamati dari tanah dalam interval 2013-2016," kata dia.

Meski tak akan menyebabkan kiamat dan memusnahkan umat manusia, skrenario terburuknya, jika benda langit itu menabrak sebuah kota, niscaya jutaan nyawa akan melayang.

Sebagai perbandingan, asteroid yang menjadi pemicu musnahnya spesies Dinosaurus 65 juta tahun lalu, sembilan mil lebih lebar dari ukuran 2011 AG5.

Sejauh ini, para ilmuwan masih meraba-raba, mencari tahu sifat pergerakan asteroid itu. Para ahli baru bisa memperkirakan ukurannya, mereka baru bisa mengamati setengah orbitnya.

Baru antara tahun 2013 dan 2016, para astronom akan bisa memonitor 2011 AG5 dari tanah, yang jadi modal untuk membuat penilaian yang lebih rinci.

Pada 2023, asteroid ini akan "lolos dari lubang kunci" ke Bumi -- di area yang melewati orbit, sebelum ia akhirnya menabrak Bumi.

Menurut Laboratorium Jet Propulsion NASA, momentum akan berada dalam 0.02 unit astronomi dari planet kita, atau sekitar 1,86 juta mil.

Apa yang bisa dilakukan untuk menghindari petaka?

NASA mengatakan, di antara opsi penyelamatan Bumi adalah dengan mengirimkan pesawat ke asteroid tersebut yang bisa memberi efek grafitasi, untuk mengarahkan 2011 AG5 menjauh dari bumi, selama jutaan tahun cahaya.

Opsi lain, adalah dengan mengirim satelit dan menabrakkannya ke asteroid tersebut.

Penggunaan senjata nuklir juga didiskusikan. Namun, dikhawatirkan, alih-alih menyelesaikan masalah, nuklir justru menciptakan hujan batu yang mengarah ke Bumi.

Sementara, seperti dimuat SPACE.com, asteroid ini ditemukan pada Januari 2011 oleh observatorium Mount Lemmon Survey di Tucson, Arizona.

"2011 AG5 adalah obyek yang saat ini memiliki kesempatan tertinggi menabrak Bumi, di 2040. Namun, kita hanya mengamatinya selama sekitar setengah orbit, sehingga presisi perhitungan ini masih tidak terlalu tinggi," kata Detlef Koschny dari Divisi Tata Surya Badan Angkasa Eropa (European Space Agency), Belanda.

Ilmuwan NASA Analisa Bagian Terang Asteroid Vesta


Bagian terang dari asteroid Vesta. Image credit: straitstimes.com
Para ilmuwan NASA kini sedang menganalisa titik terang pada sebuah asteroid raksasa, yang mungkin mewakili materi termurni dari objek angkasa tersebut. NASA baru saja merilis sejumlah gambar baru dari asteroid Vesta yang diambil melalui pesawat luar angkasa tak awak Dawn.

Di sejumlah gambar yang berhasil diabadikan, terlihat beberapa wilayah di permukaan asteroid terlihat lebih terang ketimbang yang lain. Demikian seperti dikutip dari ST.

Sampai saat ini para ilmuwan masih terus meneliti untuk menjelaskan apa yang membuat permukaan itu lebih terang ketimbang areal lainnya, yang diperkirakan komposisinya sama seperti pertama kali asteroid tersebut terbentuk; sekira empat miliar tahun yang lalu.

Dawn telah mempelajari Vesta sejak pesawat tersebut memasuki orbit sejak tahun lalu. Musim panas tahun ini Dawn juga berencana untuk meninggalkan Vesta untuk menuju asteroid lainnya, yakni Ceres, yang diperkirakan sampai pada tahun 2015.

Gunung di Asteroid Vesta Tiga Kali Lebih Tinggi dari Everest

Gunung di asteroid Vesta. Image credit: NASA
Citra wahana antariksa milik NASA yang diambil pada awal Oktober lalu menunjukkan, asteroid Vesta memiliki gunung setinggi lebih kurang 22 kilometer, tiga kali lipat dari tinggi Everest, gunung paling tinggi di Bumi. Bagian kaki gunungnya seluas 180 kilometer.

Citra terekam di area kutub selatan asteroid ketika Dawn, nama pesawat antariksa itu, mengorbit Vesta. Dawn mulai memasuki orbit Vesta di Bulan Juli. Perjalanan mengorbit masih terus berlangsung dengan jangka waktu satu tahun.

Ini berarti bahwa gunung di asteroid Vesta tersebut lebih tinggi daripada gunung apa pun yang ada di Bumi, dan bahkan memiliki perbedaan tipis dari Gunung Olympus pada planet Mars yang memiliki ketinggian hingga 25 kilometer.

Hasil pencitraan juga menunjukkan permukaan Vesta lebih kasar dibandingkan dengan asteroid lainnya. Vesta mempunyai lebih banyak kawah, bukit, pegunungan, tebing, palung dibandingkan obyek-obyek lain di sabuk asteroid.

"Vesta sangat penuh kejutan, terutama bagian kutub selatannya," ujar Paul Schenk, ilmuwan di Lunar and planetary Institute Texas yang ikut serta dalam Dawn.

Vesta merupakan asteroid kedua terbesar di tata surya setelah Ceres. Temuan ini dipresentasikan di Planetary Science Congress Eropa 2011 dan divisi Planetary Sciences Joint Meeting di Nantes, Prancis.

Vesta, Asteroid Mirip Planet

Salah satu kawah di astereoid Vesta. Image credit: NASA
Penelitian terbaru menunjukkan bahwa asteroid Vesta, objek terbesar kedua di antara orbit Mars dan Jupiter, sejatinya merupakan protoplanet (embrio planet). Sayangnya, embrio planet ini mengalami kegagalan berkembang atau keguguran.

Astronom dari Jet Propulsion Laboratory, NASA, di California baru-baru ini menggali data hasil tangkapan wahana antariksa Dawn untuk memperoleh hasil tersebut.

"Kami sekarang mengetahui bahwa Vesta adalah satu-satunya bangunan protoplanet yang utuh berasal dari masa-masa awal sejarah Tata Surya," ungkap Carol Raymond, pimpinan investigasi misi Dawn seperti dikutip Scientific American, Jumat (11/5/2012).

Menurut astronom, objek lain seumuran Vesta mungkin saja bergabung dengan planet atau sudah hancur akibat tumbukan miliaran tahun lalu.

Astronom menguraikan, ada beberapa hal yang menunjukkan bahwa Vesta adalah sebuah protoplanet. Pertama, Vesta memiliki inti besi selebar 220 km. Inti besi tersebut sanggup menghasilkan medan magnet serupa yang dimiliki Bumi.

Sebelumnya, astronom menduga Vesta adalah adalah induk dari howardite-eucrite-diogenite (HED) meteorit (terdiri dari batuan magmatik yang terbentuk di temperatur tinggi). Riset menunjukkan bahwa Vesta memang induk dari jenis meteorit ini.

Bukti ketiga, permukaan asteroid Vesta menunjukkan kompleksitas yang tinggi, yang lebih menyerupai planet batuan daripada sebuah asteroid. Ini menegaskan bahwa Vesta adalah sebuah obbjek angkasa yang spesial.

Lalu, apa yang menyebabkan Vesta gagal menjadi planet? Astronom memperkirakan, penyebabnya adalah, Vesta berada di tempat yang tidak tepat.

Merkurius, Venus, Bumi dan Mars berada di orbit dalam Tata Surya, relatif tidak terpengaruh oleh gravitasi benda lain. Dengan demikian, protoplanet bisa membentuk planet dengan lebih mudah. Sementara, Vesta berada di antara orbit Mars dan Jupiter, dimana gravitasi Jupiter sangat mempengaruhi.

"Di sabuk asteroid, Jupiter memberi pengaruh sangat besar sehingga protoplanet-protoplanet tidak bisa berakresi (bergabung) satu sama lain," ungkap David O'Brien, peneliti di misi Dawn, seperti dikutip Space, kamis (10/5/2012).

Di wilayah sabuk asteroid, benda-benda juga bergerak dengan kecepatan tinggi sehingga berpotensi untuk bertabrakan satu sama lain. Kecepatan tinggi inilah yang diduga menghancurkan banyak objek seperti Vesta.

Vesta yang memiliki lebar 530 km sendiri mengalami tumbukan. kawah di kutub selatan selebar 505 km dan kawah lain selebar 400 km menjadi buktinya.

Menurut ilmuwan, Vesta sendiri sudah beruntung dapat bertahan hidup di tengah berbagai tumbukan selama 4,5 miliar tahun. Ilmuwan mensyukuri hal ini sebab dapat menggunakan Vesta sebagai alat mempelajari Tata Surya.

"Vesta istimewa karena bisa selamat dari tumbukan keras di lingkungan sabuk asteroid selama miliaran tahun, memungkinkan kita untuk menginterogasi saksi kunci peristiwa pada masa-masa awal Tata Surya," kata Raymond.

10 Negara yang Paling Berisiko Dihantam Asteroid

Ilustrasi asteroid menabrak Bumi.
Image credit: starryskies.com
Baru-baru ini, observasi  Wide-field Infrared Survey Explorer (WISE) NASA mengungkap populasi asteroid berpotensi bahaya di tata surya. Sekaligus menguak informasi terbaru soal jumlah, asal-usul, dan potensi bahayanya.

Asteroid berpotensi bahaya (potentially hazardous asteroid), disebut juga PHA adalah kelompok batu angkasa dekat Bumi. Mereka memiliki orbit terdekat dengan bumi, sekitar delapan juta kilometer. Dan, ukuran mereka diperkirakan cukup besar untuk bertahan dari pembakaran di atmosfer Bumi sehingga bisa menyebabkan kerusakan dalam skala regional, atau yang lebih besar.

Proyek NEO WISE, yang merupakan bagian dari misi WISE mengambil 107 PHA untuk membuat prediksi populasi secara keseluruhan. Hasilnya, ada sekitar 4.700 asteroid berbahaya, plus-minus 1.500, dengan diameter lebih besar dari 100 meter. Sejauh ini, baru sekitar 20-30 persen obyek yang ditemukan.

Analisis NEOWISE lebih baik dari perkiraan kasar sebelumnya, dan lebih kredible dalam memperkirakan jumlah total dan ukuran asteroid.

"Analisis NEOWISE menunjukkan bahwa kita telah membuat awal yang baik menemukan obyek yang bisa berpotensi bahaya bagi Bumi," kata  Lindley Johnson, program eksekutif untuk Program Observasi Dekat Bumi, seperti dimuat situs NASA.

Terkait asal-usul, asteroid berpotensi berbahaya mungkin berasal dari tabrakan antara dua asteroid di sabuk utama terletak di antara Mars dan Jupiter. Fragmen pecahan itu yang melayang orbit lebih dekat ke Bumi dan akhirnya menjadi PHA.

"Proyek NEOWISE NASA, yang awalnya tidak direncanakan sebagai bagian dari WISE, ternyata menjadi bonus besar," kata Amy Mainzer, peneliti utama NEOWISE, di Laboratorium et Propulsion Laboratory di Pasadena, California

Temuan itu membantu manusia memahami asal-usul asteroid dan memberi peluang untuk menghindari potensi bahaya. Juga mengetahui komposisi batu angkasa: granit, batu, atau logam. Jenis informasi ini penting dalam menilai potensi bahaya asteroid. Komposisi akan mempengaruhi seberapa cepat mereka mungkin terbakar di atmosfer.

Temuan NASA kemudian menjadi dasar studi sejumlah ilmuwan. Salah satunya, para peneliti dari University of Southhampton. Untuk kali pertama, para ahli di sana mengidentifikasi 10 negara paling berpotensi mengalami kerusakan terparah akibat asteroid.

Menggunakan perangkat lunak, NEOimpactor, singkatan dari "NEO" atau Near Earth Object programme NASA.

Dari simulasi tersebut, diperoleh 10 negara yang paling berisiko yakni: China, Indonesia, India, Jepang, Amerika Serikat, Filipina, Italia, Inggris, Brazil, dan Nigeria.

Lima negara menghadapi risiko hilangnya nyawa manusia yakni China, Indonesia, India, Jepang dan Amerika Serikat. Sementara, Amerika Serikat, China, Swedia, Kanada dan Jepang menghadapi dampak ekonomi yang paling parah karena hancurnya infrastruktur.

"Konsekuensi bagi populasi manusia dan infrastruktur sebagai akibat dari dampak asteroid sangat besar," kata Nick Bailey dari University of Southampton.

"Hampir seratus tahun yang lalu sebuah kawasan terpencil dekat Sungai Tunguska menjadi saksi hidup ledakan asteroid yang relatif kecil (diameter sekitar 50 meter). Meskipun saat itu hanya membuat rata hutan, seandainya meledak di London itu bisa menghancurkan segalanya," kata Bailey seperti dimuat Daily galaksi.

Efek Yarkovsky Arahkan Orbit Asteroid ke Bumi

Ilustrasi efek Yarkovsky pada asteroid 1999 RQ36 saat melintas dekat Bumi pada tahun 2135. Image credit: dailymail.co.uk
Dalam 12 tahun terakhir, astronom menemukan bahwa orbit beberapa asteroid telah bergeser sekitar 100 mil dari orbitnya semula akibat ditarik dengan kuat oleh sebuah efek yang disebut dengan "Yarkovsky Effect".

"Efek Yarkovsky ini dapat mendorong asteroid menuju atau keluar dari orbit Bumi," ungkap Josh Emery dari University of Tennessee. "Memahami efek ini sangat penting untuk mengetahui apakah ada asteroid yang mungkin akan dapat menghantam Bumi," tambahnya. Astronom menemukan banyak asteroid yang memiliki kemungkinan untuk menabrak Bumi pada pertengahan abad ini.

Diantara asteroid yang diprediksi akan menabrak Bumi yaitu sebuah galaksi kecil 1999 RQ36. galaksi kecil tersebut diperkirakan akan melintas Bumi pada tahun 2135. asteroid tersebut diketahui telah bergeser 100 mil dari orbit asalnya, disebabkan oleh efek Yarkovsky ini.

Penelitian yang dilakukan Emery dengan menggunakan NASA Spitzer Space Telescope pada tahun 2007 dapat mengukur karakteristik termal dari asteroid menemukan bahwa asteroid tersebut ditutupi oleh material halus. "Semakin lama permukaannya dapat menahan panas, efek Yarkovskynya akan semakin kuat pengaruhnya," kata Emery. "Oleh karena itu jika asteroid terdiri dari batuan padat, maka efeknya akan lebih kuat karena mampu menahan panas lebih lama, tapi jika bahannya terdiri dari material halus seperti debu atau pasir, maka pendinginan akan lebih cepat sehingga pengaruh efeknya lebih lemah," imbuhnya seperti yang dikutip dari dailymail.co.uk, Jumat (08/06/2012).

Asteroid 1999 RQ36. Image credit: dailymail.co.uk

Mengetahui pengaruh efek Yarkovsky pada asteroid 1999 RQ36 sekaligus dapat mengetahui seberapa besar potensi bahaya jika asteroid tersebut benar-benar melintas Bumi pada tahun 2135 nanti.

Asteroid dengan diameter 500 meter tersebut diperkirakan akan melewati Bumi pada 2135 pada jarak 220 ribu mil. pada jarak yang semakin dekat, lintasan asteroid semakin sult untuk diprediksi secara akurat dan hanya bisa memperkirakannya dengan menggunakan data statistik.

Efek Yarkovsky sendiri diambil dari nama Insinyur Rusia pada abad ke-19 yang pertama kali menemukan bahwa suatu batuan antariksa dala jangka waktu tertentu orbitnya akan berbelok ketika menyerap sinar Matahari kemudian akan memancarkan kembali efek sinar Matahari tadi dalam bentuk panas. Efeknya sangat sulit untuk diukur karena sangat kecil.

Efek Yarkovsky ini ditemukan pada asteroid 1999 RQ36 dalam sebuah usaha untuk menentukan massa asteroid tersebut pada jarak jutaan mil dari Bumi. Ditemukan bahwa asteroid tersebut memiliki air dan berpori.

Begini Cara NASA Menangkap Asteroid (Foto dan Video)

NASA merilis foto dan video yang menjelaskan bagaimana cara mereka untuk "menangkap" asteroid. Dalam video tersebut NASA menggunakan misi berawak dengan kapsul Orion sebagai modul dan lengan robotik serta balon plastik sebagai instrumen untuk menangkap asteroid. Tujuan sebenarnya dari misi ini adalah untuk menangkap dan mengarahkan asteroid dekat Bumi untuk ditempatkan ke titik yang stabil di dekat Bulan untuk kemudian dapat dipelajari.

NASA juga menggunakan Solar Electric Propulsion System untuk misi luar angkasa masa depan yang mampu membawa lebih banyak muatan dengan daya jangkau yang lebih jauh. Selain itu penggunaan Solar Electric Propulsion System memiliki fleksibilitas yang lebih tinggi. Tidak berhenti sampai di situ saja, saat ini NASA juga tengah menelaah kurang lebih 400 ide yang masuk kepada mereka tentang bagaimana cara untuk melakukan misi asteroid ini agar lebih efektif dan efisien.

Berikut foto dan video NASA yang menjelaskan bagaimana cara mereka menangkap asteroid


Ilustrasi astronot mengambil sampel dari asteroid yang berhasil di tangkap. Image credit: NASA

Ilustrasi dua astronot sedang mempersiapkan asteroid yang berhasil ditangkap dengan lengan robotik. Image credit: NASA

Ilustrasi kapsul Orion mendekati asteroid yang sudang berhasil ditangkap. Image credit: NASA

Ilustrasi Solar Electric Propulsion System. Image credit: Analytical Mechanics Associates

Astronom SETI Ungkap Bentuk Asteroid Sylvia dalam Model 3D

Model tiga dimensi (3D) asteroid Sylvia dengan dua asteroid satelitnya. Klik gambar untuk memperbesar. Image credit: Danielle Futselaar/SETI Institute
SETI (Search for Extraterrestrial Intelligence) akhirnya berhasil mengungkap karakteristik dari sebuah asteroid raksasa yang memiliki dua satelit asteroid pendamping (bulan). asteroid bernama Sylvia ini berada pada sabuk asteroid di antara planet Mars dengan Jupiter. asteroid ini sendiri memiliki ukuran yang sangat besar yakni 270 km dan berdasarkan hasil pengamatan dan permodelan 3D (tiga dimensi) didapat fakta bahwa asteroid tersebut memiliki bentuk yang tidak teratur namun komposisinya padat. Bagian kulit luarnya tampak halus.

Asteroid Sylvia didampingi oleh dua satelit yakni Romulus dan Remus. Romulus memiliki ukuran lebar 24 km sedangkan Remus berukuran sedikit lebih kecil. Menurut Franck Marchis dari SETI, adanya kedua satelit asteroid ini memberikan banyak manfaat. "Berkat kehadiran Bulan ini, kita bisa mengetahui kepadatan dan struktur dalam asteroid ini tanpa mengirimkan wahana ke sana. Pengetahuan mengenai struktur internal asteroid adalah kunci untuk memahami bagaimana planet-planet di tata surya kita terbentuk," ungkap Franck Marchis.
Pengamatan yang dilakukan dengan teleskop 8-10 meter dengan optik adaptif. Lingkaran gelap menunjukkan bentuk yang tidak teratur dari asteroid. Satelit yang ukurannya lebih kecil bisa dilihat pada posisi yang berbeda-beda pada gambar-gambar di atas. Klik gambar untuk memperbesar. Image credit: Franck Marchis
Marchis dan timnya sudah lama mengamati asteroid ini dan mereka menggunakan teleskop canggih dengan instrumen optik adaptif seperti yang ada pada teleskop di Keck Observatory, Hawai dan teleskop European Southern Observatory di Chile. Hasil dari pengamatan ini bisa memabntu para astronom untuk membuat model yang akurat tentang sistem tiga asteroid (triple asteroid system) yang memungkinkan untuk dapat mengetahui dan memperkirakan posisi dari asteroid satelit di sekitar asteroid utama setiap saat. Tim melakukan pengamatan di saat terjadi okultasi asteroid Sylvia dengan sebuah bintang yang jauh.

Diperkirakan asteroid pendamping, Romulus dan Remus terbentuk dari serpihan asteroid Sylvia yang hancur akibat hantaman obyek antariksa lain.

Rabu, 12 Maret 2014

Ilmuwan: Letusan Gunung Berapi Bulan Bisa Dilihat dari Bumi

Bulan membara. Image credit: gawkerassets.com
Dalam sebuah penelitian yang dipublikasikan di jurnal Nature Geosciences, di masa depan, manusia akan menikmati pemandangan indah, yakni letusan gunung berapi di Bulan yang terlihat dari Bumi.

Menggunakan informasi yang dikumpulkan oleh seismometer yang dipasang di Bulan saat misi Apollo digelar, diketahui bahwa sekitar 30 persen lapisan yang mengelilingi inti Bulan yang terbuat dari logam merupakan zat cair.

Menurut Renee Weber, peneliti dari Marshall Space Flight Center NASA yang mengetuai studi pemetaan dan pemodelan Bulan, lava cair itu berada di kedalaman 1200 sampai 1350 kilometer di bawah permukaan Bulan.

Lalu, mengapa tidak ada gunung berapi aktif di sana?

Dikutip dari Gizmodo, 21 Februari 2012, permukaan Bulan sama seperti planet mati. Letusan gunung berapi terakhir yang terjadi di Bulan terjadi beberapa miliar tahun yang lalu.

Untuk mengetahui apakah akan ada letusan gunung berapi di Bulan, sekelompok peneliti yang diketuai Mirjam van Kan Parker dan Wim van Westernen dari VU University, Amsterdam coba mencari jawabannya.

Berhubung manusia tidak bisa mengakses lava yang ada di Bulan, peneliti menggunakan sampel bebatuan seberat 350 kilogram yang dibawa oleh Apollo dari Bulan. Mereka kemudian menempatkan batu itu di kondisi serupa dengan perut Bulan. Yakni dengan tekanan lebih dari 45.000 bar serta temperatur sekitar 1.500 derajat Celsius.

Setelah menciptakan lava buatan, mereka kemudian menganalisa dan membuat simulasi komputer. Ternyata, diketahui bahwa magma Bulan kaya dengan titanium.

Artinya, lava cair itu terlalu berat untuk dapat mengalir ke permukaan Bulan. Padahal, agar lava bisa meletup di permukaan Bulan, ia perlu lebih ringan.

“Setelah magma terbentuk, mereka terakumulasi di lapisan bawah Bulan. Kira-kira seperti gunung berapi namun terbalik. Saat ini, Bulan sedang berada dalam fase pendinginan, demikian pula dengan bagian dalamnya,” kata Westrenen. “Ini menjawab pertanyaan mengapa tidak ada gunung berapi di Bulan,” ucapnya.

Tetapi, bagaimana dengan di masa depan?

Di masa depan, lava yang lebih dingin itu akan berubah komposisinya. Kemungkinan, ia akan menjadi tidak terlalu padat dibandingkan dengan zat-zat yang ada di sekelilingnya. “Magma yang lebih ringan ini dapat dengan mudah bergerak ke permukaan dan membentuk gunung berapi di Bulan,” kata Westrenen. “Itu akan menjadi pemandangan yang sangat indah,” ucapnya.

Sayangnya, tidak satupun dari kita yang hidup saat ini bisa melihat fenomena letusan gunung berapi di Bulan. Pasalnya, proses tersebut akan membutuhkan waktu jutaan tahun.

Bulan Saturnus, Dione Miliki Oksigen

Dione muncul di balik Bulan Saturnus lain, Titan. Image credit: NASA
Wahana antariksa Cassini mendeteksi keberadaan oksigen di atmosfer Dione, salah satu Bulan milik planet Saturnus. Oksigen itu hanya terdapat dalam jumlah sedikit di lapisan atmosfer yang juga tipis. Hanya ada 1 ion oksigen di setiap 11 centimeter kubik atmosfer, mirip seperti kondisi atmosfer Bumi pada ketinggian 480 km.

Ada 2 kemungkinan pembentukan oksigen di Dione. Pertama, foton cahaya Matahari menumbuk es di permukaan Dione, membebaskan ion oksigen ke atmosfer. Kedua, oksigen muncul dari aktivitas geologi Dione.

Meskipun Bulan ini memiliki oksigen, lingkungannya tak bisa diharapkan untuk mendukung kehidupan. Astronom mengungkapkan, kerapatan atmosfer Dione 5 triliun kali lebih kecil dari dari lapisan atmosfer di dekat permukaan Bumi. Selain itu, tak ada indikasi Dione memiliki air dalam bentuk cair.

Robert Tokar dari Los Alamos National Laboratory di New Mexico, pimpinan penelitian ini, mengatakan bahwa hal terpenting dalam penemuan ini bukan bisa tidaknya Dione mendukung kehidupan.

"Penemuan ini membuktikan bahwa oksigen sebenarnya umum di sistem Saturnus dan menunjukkan bahwa oksigen bisa muncul lewat proses yang tidak melibatkan makhluk hidup," kata Tokar seperti dikutip Space, Jumat (2/2/2012).

Jika Dione tidak bisa mendukung kehidupan karena kondisi atmosfer dan ketiadaan air dalam bentuk cair, maka pasti ada Bulan lain di Saturnus yang bisa. Astronom bisa melakukan penelitian lebih lanjut di sistem Saturnus.

Penemuan oksigen di Dione dipublikasikan di jurnal Geophysical Research Letters Bulan ini.

Dione adalah Bulan Saturnus dengan lebar 1123 km, mengorbit Saturnus dari jarak 377.400 km dengan periode 2,7 hari.

Sejauh ini, Bulan Saturnus yang dianggap paling mendukung kehidupan adalah Titan. Sementara, sebelumnya oksigen juga pernah ditemukan di Bulan Saturnus lain, Rhea.

Bulan Planet Saturnus Juga Memiliki Cincin

Bulan milik Saturnus Anthe (atas) dan Methone (bawah)
yang dikelilingi cincin parsial berbentuk
seperti busur panah. Image Credit: NASA
Cincin ternyata tak hanya menghiasi planet Saturnus saja. Foto-foto terakhir yang dikirimkan wahana ruang angkasa Cassini menunjukkan bahwa cincin parsial juga mengelilingi Bulan-bulannya.

Cassini mendeteksi cincin pertama di salah satu Bulan yang bernama Anthe. Cincin kedua juga terekam di Bulan lainnya bernama Methone. Kedua objek termasuk Bulan Saturnus yang berukuran kecil.

Tidak seperti cinin planet Saturnus yang halus, lebar, dan membentuk lingkaran penuh, cincin parsial kasar, renggang, dan hanya membentuk lengkungan seperti busur panah. Cincin parsial tersusun dari serpihan-serpihan batu meteor yang mungkin menabrak permukaan Bulan tersebut.

Nick Cooper, salah satu ilmuwan dari Universitas Queen Mary London yang terlibat dalam tim pengolah citra Cassini yakin cincin parsial terbentuk karena pengaruh gravitasi objek lainnya di sekitar kedua Bulan tersebut. Sebab, Anthe dan Methone berada dekat Mimas, Bulan lainnya yang ukurannya lebih besar.

Ia mengatakan, foto-foto tersebut mmberikan informasi baru. Informasi tersebut akan membantu mengungkap interaksi antara Bulan-bulan Saturnus dan cincinnya.

Mengapa Bayangan di Bulan Menjadi Sangat Gelap?

Sisi gelap dan terang pada Bulan. Image credit: NASA/GSFC/Arizona State University
Tampak pada gambar di atas sebuah batu tergradasi antara gelap dan terang akibat bayangan sinar Matahari, tapi mengapa bayangan di Bulan tampak begitu gelap?

Di Bumi, udara menyebarkan cahaya dan memungkinkan objek yang tidak terkena sinar Matahari langsung menjadi masih cukup terang. Ini adalah efek yang disebut hamburan Rayleigh atau Rayleigh scattering, nama diambil dari pemenang Nobel fisika asal Inggris Lord Rayleigh (John William Strutt.) Hamburan Rayleigh adalah alasan mengapa langit berwarna biru, dan (sebagian besar) mengapa kita masih dapat membaca majalah dengan baik saat berada di bawah payung di tepi pantai.

Di Bulan tidak ada udara, tidak ada hamburan Rayleigh. Jadi bayangan yang ada menjadi sangat gelap dan di sisi lain daerah yang terkena sinar Matahari menjadi sangat cerah. Daerah gelap secara dramatis keruh, seperti pada gambar LROC atas, namun masih ada beberapa cahaya memantul sekitarnya, ini adalah karena cahaya tersebut dipantulkan dari permukaan Bulan itu sendiri.

Astronot di Bulan pada misi Apollo.
Image credit: NASA/Apollo Image Archive
Bulan terdiri dari materi halus, partikel debu yang sangat reflektif. Hal ini cenderung untuk memantulkan cahaya langsung kembali pada sumbernya, dan akan menerangi obyek dalam bayangan, seperti yang terlihat dalam foto-foto misi Apollo. Astronot dalam bayangan dari modul pendaratan masih terlihat, dan pakaian mereka terlihat dengan baik sebab diterangi oleh cahaya yang dipantulkan dari permukaan Bulan. Beberapa orang telah menggunakan ini sebagai "bukti" bahwa pendaratan di Bulan sebenarnya difilmkan di panggung suara di bawah lampu buatan, namun pada kenyataannya itu semua karena cahaya yang dipantulkan.

Jadi meskipun udara tidak menghamburan sinar Matahari di Bulan, masih ada refleksi cahaya yang cukup untuk menyelinap ke dalam bayangan, tapi tidak banyak.

Tranquillityite Perkuat Teori Bahwa Dahulu Bulan Bagian Dari Bumi

Mineral Bulan tranquillityte akhirnya berhasil ditemukan di bumi. Hal ini semakin memicu pandangan bahwa Bulan merupakan bagian dari bumi yang terpecah pada miliaran tahun lalu. Image credit: NASA
Baru baru ini di temukan tranquillityite tersebar di Australia Barat, mineral yang selama ini diketahui hanya terdapat di batuan dan meteorit Bulan, dan bisa jadi kandungan mineral ini banyak terdapat di bumi.

Tranquillityite memang tidak memiliki nilai ekonomis, namun para ilmuwan mengatakan bahwa mineral ini dapat digunakan untuk untuk mengetahui usia batu di mana ia ditemukan melalui pengukuran proporsi isotop radioaktif dalam mineral.

Mineral ini diberi nama berdasarkan Lautan Ketenangan (Sea of Tranquility) di Bulan, tempat di mana astronot Apollo 11 mendarat pada 1969.

Para ilmuwan menemukan tiga mineral yang sebelumnya tidak diketahui dalam sampel yang dikumpulkan dari batuan beku Bulan, yaitu: armalcolite, pyroxferroite, dan tranquillityite. Dua mineral yang pertama kemudian ditemukan di bumi dalam satu dekade terakhir, namun tranquillityite tetap tersembunyi selama lebih dari 40 tahun terakhir.

Birger Rasmussen, ahli geologi di Universitas Curtin di Bentley, Australia, bersama timnya melaporkan penemuan mereka pada Isu Geologi Bulan ini.

Birger Rasmussen mengatakan bahwa tranquillityite tampaknya tersebar dalam jumlah besar di bumi, walaupun bentuknya sangat kecil. Kristal tranquillityite berukuran panjang sekitar 150 mikrometer dan terlihat seperti jarum kecil.

Tim memeriksa batuan beku di Australia Barat, khususnya daerah yang tidak mengalami perubahan metamorfosa besar di bumi, karena tranquillityite mudah untuk berubah menjadi mineral lain bila terkena panas maupun tekanan yang berlebihan.

Tim peneliti mampu mengonfirmasi penemuan tranquillityite dengan menembakkan elektron berkecepatan tinggi melalui sampel batuan. Tranquillityite menyebarkan elektron dalam pola unik yang mencerminkan pola yang sama dengan sampel mineral yang diambil dari Bulan.

Selama ini ilmuwan beranggapan bahwa tranquillityite adalah mineral khas dari Bulan, sehingga menimbulkan sebuah pemikiran bahwa proses kimiawi dan geologi di Bulan sebenarnya sama dengan di bumi. Sejumlah pendapat pun mulai menyatakan pandangan bahwa Bulan sebenarnya merupakan bagian dari planet bumi yang terpecah pada miliaran tahun yang lalu.

Mengapa Bagian Bulan yang Terlihat Dari Bumi Selalu Sama?

Penampakan dua sisi Bulan yang berbeda. Image credit: LRO
Ketika kita melihat Bulan, kita melihat variasi yang menakjubkan dari bagian yang terang dan gelap, tergantung pada posisi Anda di Bumi, Anda mungkin melihat Man in the Moon”, or maybe the “Rabbit in the Moon”, Daerah gelap yang dikenal sebagai maria, yaitu bidang lava halus yang diciptakan oleh letusan gunung berapi kuno di Bulan.

Tapi mengapa kita melihat bagian sisi maria tersebut dan bukan pada sisi yang lain?

Rotasi Bulan yang pasang surut terkunci dengan Bumi. Ini berarti bahwa Bulan selalu menghadirkan sisi yang sama kepada kita Dan sebelum era antariksa, diasumsikan bahwa seluruh sisi Bulan seperti ini. Ketika pesawat ruang angkasa pertama dikirim dari Bumi untuk mengorbit Bulan, mereka mengirimkan foto-foto mengejutkan yang mengungkapkan pemandangan yang sama sekali berbeda dari apa yang kita biasa kita lihat. Bukan bercak gelap maria yang biasa kita lihat

Jadi mengapa sisi maria yang menghadap Bumi kita dan bukan sisi yang lain? Apakah itu hanya kebetulan?

Seperti yang di lansir dari universetoday.com, Rabu (14/03/2012), Peneliti dari California Institute of Technology (Caltech) berpikir bahwa ini bukan tentang keberuntungan sama sekali, tapi cara rotasi Bulan yang melambat setelah pembentukannya. Oded Aharonson, seorang profesor ilmu planet di Caltech, dan timnya menciptakan sebuah simulasi yang menghitung bagaimana rotasi Bulan melambat setelah pembentukannya.

Meskipun Bulan terlihat seperti bola, sebenarnya ia memiliki sedikit tonjolan. Dan miliaran tahun yang lalu, saat Bulan sedang berputar jauh lebih cepat, Seluruh sisi Bulan bisa terlihat dari Bumi, namun gravitasi bumi menarik-narik tonjolan ini dengan rotasi masing-masing dan membuat rotasi Bulan menurun sedikit sampai akhirnya berhenti dan yang menghadap Bumi adalah sisi maria.

Dalam setiap simulasi yang dilakukan berkat orientasi tonjolan Bulan ini, sisi Maria atau sisi kawah akhirnya menghadap Bumi. Tapi tingkat di mana ia melambat seberapa cepat hilangnya energi rotasi menjelaskan mengapa hal tersebut bisa terjadi.

Jika Bulan melambat dengan cepat, maka peluangnya 50/50. Tapi karena Bulan melambat secara bertahap, kita memiliki kesempatan yang jauh lebih tinggi melihat sisi maria Bulan sebagai hasil akhir. Hasil penelitian ini diterbitkan dalam edisi 27 Februari dari Icarus Journal.

Penuh Dengan Samudera Lava, Permukaan Io Mirip Pizza

Bulan Jupiter, Io. Image credit: NASA
Ilmuwan NASA telah menemukan samudera lava pada permukaan sebuah Bulan yang terlihat seperti pizza.
Io, yang mengorbit planet raksasa Yupiter adalah dunia yang mengalami vulkanik paling aktif dalam sistem tata surya.

Meskipun hanya seperempat diameter Bumi, namun Bulan ini menghasilkan sekitar 100 kali lebih banyak lava dibandingkan semua gunung berapi di seluruh Bumi.

Kini para ilmuwan AS pada Universitas California dan Michigan telah menemukan bahwa lava yang mengalir dari lautan magma itu berada antara 20-30 mil di bawah permukaan Io dengan kedalaman lebih dari 30 mil.

Penampakan Io mirip pizza ini, diakibatkan karena materi pada permukaan yang terus menerus mengalir tersebut terlihat seperti noda jerawat.

Perputaran yang tanpa akhir ini disebabkan oleh tarikan sangat kuat Yupiter pada interior Io, mirip tarikan pasang pada Bulan kita.

Vulkanik Io mengejutkan sejumlah astronom ketika pertama kali difoto oleh NASA pada akhir 1970.

Lautan lava dideteksi dengan data penganalisaan yang dikumpulkan oleh pengamat lain, Galileo, yang mengorbit Yupiter selama delapan tahun hingga 2003 lalu.

Sinyal misterius dalam temuan ini terdengar cocok dengan apa yang diperkirakan dari bebatuan yang meleleh di bawah permukaan Io.

Para ilmuwan bahkan mampu mengidentifikasi beberapa jenis bebatuan, yang terungkap seperti lherzolite, sebuah batu vulkanik yang ditemukan di Spitzbergen, Swedia.

Torrence Johnson, mantan ilmuwan pada proyek Galileo, dari Jet Propulsion Laboratory NASA, di California, mengatakan, “Antara Bumi dan Bulan kemungkinan juga pernah memiliki lautan magma serupa beberapa milyar tahun lalu pada saat pembentukannya, namun sudah lama mengalami pendinginan.”

“Vulkanik Io menginformasikan kepada kita bagaimana gunung berapi bekerja dan menyajikan sebuah jendela pada saat terjadinya berbagai jenis aktifitas vulkanik yang kemungkinan terjadi di Bumi dan Bulan selama sejarah awal pembentukannya.

Video: Evolusi Bulan

Bumi dan Bulan dahulunya bermula dari Bola magma panas raksasa yang kemudian terpisah akibat tumbukan benda langit sebesar Mars yang kemudian masing-masing bagian membeku dan membentuk Bumi dan Bulan yang sekarang menjadi pasangan harmonis yang seiring dan sejalan mengelilingi Matahari. dan pada postingan sebelumnya saya sempat menulis mengapa hanya bagian Bulan berupa dataran lava yang disebut "Maria" yang terus menerus menghadap Bumi, bisa dibaca di sini.

Nah kali ini para ahli dari Goddard’s Scientific Visualization Studio membuat video perubahan wujud Bulan (evolusi) dari berbentuk Bola panas menjadi dingin dan membeku seperti sekarang, yang aslinya berlangsung dalam waktu 4.5 miliar tahun namun dalam video ini hanya 2.5 menit. Silahkan menyaksikan video berikut:

Peneliti Temukan Bukti Kegiatan Vulkanik di Bulan

Bagian yang tinggi di sekitar kawah Tycho yang menjadi kunci ditemukannya bukti kegiatan geologi di Bulan. Image credit: NASA Goddard/Arizona State University
Tim peneliti dari India’s Physical Research Laboratory (PRL), mengaku menemukan bukti tentang adanya aktivitas vulkanik baru di Bulan. Hal itu didapat dengan menggunakan data dari NASA’s Lunar Reconnaissance Orbiter dan wahana Chadrayaan-1. Dengan mengacu pada bentuk di pusat kawah Tycho yang menunjukkan bahwa di situ pernah terdapat aktivitas gunung berapi, menunjukkan bahwa dahulu Bulan pernah memiliki aktivitas geologi yang aktif selama proses pembentukkan kawah sekira 110 juta tahun yang lalu.

Batu besar berukuran 400 kaki di kawah tycho.
Image credit: NASA/GSFC/LROC

Dikutip dari universetoday.com, Minggu (15/04/2012), dalam artikel yang ditulis oleh Deccan Herald, para peneliti PRL mengungkapkan bahwa jejak aliran lava di sekitar kawah Tycho terbentuk 100 juta tahun setelah kawah terbentuk. Ini menunjukkan adanya aktivitas vulkanik yang relatif baru. Selain itu ditemukan pula batu-batu besar berukuran mulai dari 33 meter hingga ratusan meter, terlihat di sekitar kawah tersebut, bagaimana batu sebesar itu bisa sampai di situ?. "Sebuah temuan mengejutkan mengungkapkan adanya batu-batu besar-sekitar 100 meter di atas puncak. Tak ada yang tahu bagaimana mereka mencapai puncak, "kata Prakash Chauhan, seorang ilmuwan PRL.

Tanpa penelitian lebih lanjut sulit untuk menentukan dengan tepat dan usia formasi kawah tersebut. Tim menanti penelitian masa depan dengan Chandrayaan-II, yang akan memeriksa Bulan dari orbit serta land rover ke permukaan Bulan. Chandrayaan-II diharapkan bisa diluncurkan awal tahun 2014.

Penyebab Munculnya Fenomena Blue Moon (Bulan Biru)

Bulan biru (blue moon). Image credit: scienceblogs.com
Bulan Biru atau Blue Moon didefinisikan sebagai purnama kedua yang terjadi dalam satu Bulan yang sama. Bulan Biru pernah terjadi pada 31 Juli 2004 dan 31 Desember 2009.

Bulan Biru biasanya terjadi setiap 2,5 tahun dan hanya sekali dalam setahun. Namun, dalam periode 19 tahun sekali, Bulan Biru bisa terjadi dua kali dalam setahun. Pada 1999, misalnya, Bulan biru terjadi pada Bulan Januari dan Maret.

Terjadinya Bulan Biru berkaitan dengan lama penanggalan Masehi dan Bulan. Satu tahun dalam kalender Masehi berjumlah 365 hari, sementara dalam kalender Bulan 354 hari. Sisa hari akan diakumulasikan sehingga pada tahun tertentu akan terjadi dua purnama dalam sebulan.

Penyebab terjadinya dua kali Bulan Biru dalam setahun juga berkaitan dengan penanggalan. Sejarah mencatat, biasanya dua Blue Moon dalam setahun terjadi pada Bulan Januari dan Maret.

Blue Moon dalam Bulan Januari terjadi menjelang akhir Bulan. Karena Februari umumnya berjumlah 28 hari, maka pada Bulan itu tak ada purnama sama sekali. Purnama selanjutnya baru terjadi pada awal Maret. Blue Moon pada Maret bisa terjadi karena Maret berjumlah 31 hari.

Bulan Biru Nyata

Bulan Biru biasanya dianggap sebagai kiasan karena sebenarnya Bulan memang tidak tanmpak berwarna biru. Istilah Bulan Biru diberikan karena fenomena purnama dua kali dalam sebulan jarang terjadi. Meski demikian, sejarah juga mencatat bahwa Bulan Biru itu nyata. Artinya, Bulan memang tampak kebiruan.

Astronom Ma'rufin Sudibyo mengatakan, Bulan yang berwarna biru pernah terjadi pada tahun 1992, tepatnya saat terjadi gerhana Bulan 9 Desember 1992. Ma'rufin menjelaskan, sebagian kecil cakram Bulan saat gerhana tampak kebiruan. Adapun bagian lain tampak gelap, bukan kemerahan seperti biasanya.

Ia menjelaskan bahwa fenomena tersebut berkaitan dengan letusan Gunung Pinatubo. "Richard Keen, peneliti yang merekapitulasi citra Gerhana Bulan Total sejak masa Gunung Agung, mengatakan bahwa saat Gerhana Bulan total 1992 (bulan berwarna kebiruan) alasannya karena hamburan Matahari oleh ozon," jelas Ma'rufin.

Situs NASA menyebutkan bahwa Bulan yang tampak biru disebabkan oleh adanya partikel yang lebih besar dari panjang gelombang warna merah (0,7 mikron). Partikel tersebut bisa bersumber dari abu letusan gunung berapi.

Bulan Biru paling fenomenal yang tercatat sejarah terjadi saat letusan Krakatau tahun 1883. Tidak hanya saat gerhana, Bulan juga tampak kebiruan setiap malam, entah sabit, separuh, ataupun purnama.

Berdasarkan penjelasan di situs NASA, Bulan berwarna biru tersebut terjadi selama bertahun-tahun sesudah letusan. Debu letusan Krakatau mengotori atmosfer dan menyebabkan sinar putih yang biasanya diperlihatkan Bulan tampak biru.

Bulan Biru juga terjadi setelah letusan Gunung St. Helen pada 1980 dan Gunung El Chicon di Meksiko tahun 1983.

Gerhana 10 Desember dan Bulan Biru

Contoh terakhir Bulan yang tampak kebiruan terjadi pada Sabtu (10/12/2011) malam, saat Gerhana Bulan Total memasuki totalitas sekitar pukul 21.07 - 21.57 WIB. Ma'rufin yang mengamati fenomena tersebut dari Gombong, Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah.

Ia mengatakan bahwa Bulan yang berwarna kebiruan teramati oleh dua teleskop berbeda. Warna kebiruan cenderung menumpuk di satu titik. Berbeda dari gerhana Bulan total 1992, warna kebiruan pada gerhana kali ini dihiasi oleh warna merah pada bagian cakram Bulan yang lain.

Apa sebab Bulan yang tampak biru kali ini? Beberapa waktu lalu Gunung Merapi di Yogyakarta memang sempat meletus. Namun, Ma'rufin menguraikan bahwa warna kebiruan yang tampak tidak berkaitan dengan abu vulkanik Merapi. Buktinya, Bulan masih tampak kemerahan semalam.

Bulan dengan kelir kebiruan yang terjadi semalam tidak teramati di tempat selain Gombong. Oleh sebab itu, belum diketahui apakah fenomena tersebut lokal atau ekstraterestrial. Dengan demikian, belum tahu pasti sebab munculnya warna kebiruan.

"Itu yang masih misterius bagi saya. Satu hipotesa saat ini sih, kemungkinan itu cahaya hasil hamburan ozon," kata Ma'rufin.

Satu yang pasti, fenomena Bulan yang tampak kebiruan bukan hanya kiasan, melainkan nyata terjadi.

Mitos-mitos Seputar Supermoon

Supermoon. Image credit: vivanews.com
Bulan purnama terbesar pada 2012 atau supermoon tampak menghiasi langit pada Sabtu lalu. Penampakan Bulan yang dikatakan lebih terang dan besar ketimbang normal itu bukan tanpa mitos.

Diwartakan Live Science, Minggu (6/5/2012), istilah supermoon digunakan untuk menamai Bulan purnama yang terjadi ketika orbit noncircular-nya sedang berada di titik terdekat Bumi. Keadaan tersebut membuat Bulan berada sekira 221,802 mil (356.955 kilometer) jauhnya dari Bumi.

Supermoon tidak hanya lebih terang, tapi juga membawa beebrapa fakta dan mitos di balik penampakannya. Berikut adalah beberapa hal menarik mengenai fakta dan mitos tersebut.

1. Supermoon akan tampak besar seiring naik ke atas langit. Para ilmuwan belum mengetahui alasannya, tapi supermoon tampak lebih besar saat berada di dekat horizon.

Menurut para ilmuwan, ini merupakan ilusi Bulan dalam pikiran kita. Cara membuktikannya adalah dengan membandingkannya pada penghapus atau benda-benda kecil lain.

Pegang benda tersebut di tangan dan bandingkan dengan ukuran Bulan seiring kenaikannya. Lakukan lagi hal serupa di tengah malam saat Bulan telah di posisi tertingginya. Ukuran Bulan tidak akan berubah.

2. Supermoon tidak akan menghancurkan Bumi. Ada tarikan gravitasi ketika Bulan mendekat. Tapi meskipun Bumi, Bulan dan Matahari berjajar satu garis serta memicu purnama, supermoon tetap tidak akan menghancurkan Bumi.

"Bulan dan Matahari memang sedikit menekan Bumi. Dengan memperhatikan baik-baik saat mereka sedang sejajar akan tampak aktivitas tektonik mengalami peningkatan sangat kecil," terang seismolog dari University of Washington, John Vidale.

3. Cahaya supermoon lebih terang dari badai meteor. Badai meteor tahunan Eta Aquarid mencapai puncaknya di akhir pekan ini. Tapi supermoon akan membuatnya tidak terlihat, kecuali meteor yang paling terang.

4. Beberapa gambar Bulan purnama yang sangat besar merupakan tipuan fotografi. Mungkin Anda pernah melihat foto Bulan purnama yang sangat besar bertengger di balik gunung atau pepohonan. Ini adalah efek yang dibuat menggunakan lensa telephoto atau teleskop.

Melihat dari Dekat Kawah Aristarchus di Bulan

Lokasi kawah Aristarchus. KLIK gambar untuk memperbesar. Image credit: NASA

Kawah Aristarchus di Bulan. KLIK gambar untuk memperbesar. Image credit: NASA
Pada Bulan November 2011, pesawat ruang angkasa Lunar Reconnaissance Orbiter (LRO) terbang melewati kawah Aristarchus Bulan, yang membentang 25 mil (40 km) dan berkedalaman lebih dari 2 mil (3,5 km). Foto dan video dari kawah hasil bidikan LRO dirilis tanggal 25 Desember 2011.

Kawah Aristarkhus yang sangat besar dan reflektif mudah dilihat dengan mata telanjang. Alasan utama untuk kecerahan kawah ini adalah bahwa kawah ini masih relatif muda, sekitar 450 juta tahun, dan angin Matahari belum punya waktu untuk menggelapkan bahan yang tergali oleh proses "pelapukan" ruang angkasa (space weathering). Tabrakan yang menyebabkan terciptanya kawah aristarchus, terjadi setelah terciptanya kawah Copernicus, tetapi sebelum munculnya kawah Tycho.

Rincian yang ditampilkan dalam foto-foto dan video baru-baru ini adalah hasil dari penerbangan yang sangat rendah yang dilakukan oleh LRO. Pesawat ruang angkasa itu hanya 26 km (16,2 mil) di atas permukaan Bulan; sekitar dua kali lebih rendah dari normal. Ketinggian ini hanya sedikit lebih dari dua kali tinggi pesawat komersial yang terbang di atas bumi! Kawah ini menawarkan beberapa pemandangan, fantastis, dan menarik secara ilmiah.

Dataran tinggi Aristarchus adalah salah satu tempat yang secara geologis paling beragam di Bulan: dataran  yang secara misterius terangkat, rille atau alur raksasa yang diukir oleh pencurahan besar lava, daerah abu vulkanik, dan semua itu dikelilingi oleh batuan basal yang besar dan masif.

Wilayah dataran tinggi Aristarkhus telah menjadi situs dari banyak transient luna phenomena, dengan total 122 laporan hingga tahun 2007. Fenomena ini termasuk perubahan warna pada permukaan. Pada tahun 1971 saat Apollo 15 melayang 110 kilometer di atas dataran tinggi Aristarkhus, kenaikan signifikan partikel alpha terdeteksi.. Partikel-partikel ini diyakini disebabkan oleh peluruhan Radon-222, suatu gas radioaktif dengan waktu paruh hanya 3,8 hari. Misi Lunar Prospector kemudian mengkonfirmasi bahwa emisi Radon-222 berasal dari kawah ini.

NASA meluncurkan Lunar Reconnaissance Orbiter pada 2009 dalam sebuah misi dengan biaya $ 504.000.000 untuk memetakan secara rinci permukaan Bulan. Satelit ini seukuran mobil Mini Cooper dan membawa tujuh instrumen untuk mempelajari permukaan Bulan.

Jawaban NASA Atas Dugaan Teori Konspirasi Pendaratan Manusia di Bulan

Teori konspirasi pendaratan Bulan atau sering disebut teori hoax Bulan terbaik merupakan sebuah teori yang menyatakan bahwa manusia tidak pernah mendarat di Bulan. NASA dengan cerdik membuat foto dan rekaman pendaratan di Bulan di sebuah studio di Nevada.

Asal Mula


Astronot Buzz Aldrin dan Neil Armstrong dalam pelatihan NASA dari tiruan Bulan dan modul pendarat. Teori konspirasi mengatakan bahwa film dengan misi dibuat menggunakan set mirip dengan tiruan saat pelatihan. Image credit: NASA
Pada tahun 1974, seseorang bernama Bill Kaysing menerbitkan sebuah buku berjudul We Never Went to the Moon : America's Thirty Billion Dollar Swindle. Isinya mengatakan bahwa Amerika telah memalsukan pendaratan di Bulan. Hasil investigasinya didasarkan pada kejanggalan yang ada pada rekaman dan foto-foto yang dirilis oleh NASA.

Sejak itu, teori konspirasi pendaratan Bulan lahir. Beberapa buku ditulis setelah buku Kaysing, mengusulkan ide yang sama. Setelah itu buku-buku atau situs yang membela pendaratan di Bulan juga bermunculan. Namun, pembelaan itu tidak pernah dibahas sebanyak teori konspirasi.

Namun sesungguhnya teori-teori konspirasi yang tersebar di seluruh dunia hanyalah akibat ulah Bill Kaysing. Dan entah mengapa situs dan blog diseluruh dunia tidak pernah melirik jawaban-jawaban dari NASA atau ilmuwan-ilmuwan independen yang membela pendaratan tersebut.

Radiasi sabuk Van Allen

Konon untuk mencapai Bulan, para astronot harus melintasi sabuk radiasi Van Allen yang hampir tidak mungkin dilakukan. Sabuk itu terdiri dari partikel dan radiasi kosmik yang tertangkap oleh medan magnetik bumi.

Menurut para pendukung teori konspirasi, tidak akan mungkin melintasi sabuk radiasi itu. Namun data menunjukkan lain. NASA telah memperhitungkan semuanya sebelum menerbangkan manusia ke Bulan. Mereka menginvestasikan waktu dan uang yang tidak sedikit untuk meneliti risiko ini. Akhirnya mereka menyimpulkan bahwa radiasi itu hanya membawa risiko minimal. Butuh waktu sekitar satu jam bagi Apollo untuk melewati sabuk radiasi itu. Total dosis radiasi yang diterima para astronot akibat radiasi itu ternyata hanya 1 rem. Seseorang dapat mengalami sakit apabila mendapat dosis 100-200 rem dan kematian pada dosis di atas 300 rem.

Lagipula sabuk itu terbentang di 40 derajat Latitude dan 20 derajat di atas dan dibawah equator magnetik. Sedangkan Wahana yang membawa Apollo hanya bergerak pada posisi 30 derajat. Jadi para astronot hanya terekspose dengan radiasi minimal.

Bintang-bintang di angkasa


Pada foto-foto pendaratan di Bulan, tidak terlihat adanya bintang-bintang di langit yang menunjukkan bahwa foto tersebut palsu.

Ini dikarenakan para astronot tidak ke Bulan untuk mengambil foto bintang-bintang. Karena itu kamera disetel dengan eksposure yang pendek untuk menghindari gambar-gambar yang over ekspose. Permukaan Bulan yang terang juga mengharuskan kamera disetel seperti itu. Dengan setelan seperti itu, bintang-bintang tidak akan dapat tertangkap kamera dan permukaan Bulan akan tertangkap dengan jelas.

Bayangan yang mengarah ke arah yang berbeda-beda

Edwin Aldrin pada saat menginjakkan kaki di Bulan pada misi Apollo 11. Image credit: NASA
Pada beberapa foto pendaratan di Bulan menunjukkan arah bayangan yang tidak seragam. Ini menunjukkan adanya lebih dari satu sumber pencahayaan seperti di sebuah studio. Sebab, Matahari adalah satu-satunya sumber cahaya di Bulan. Seperti beberapa foto yang menunjukkan bayangan batu dan wahana Lunar Lander mengarah ke arah yang berbeda.

Hal ini dikarenakan bahwa permukaan Bulan ditutupi oleh kawah, batu-batuan dan gundukan-gundukan, bukan permukaan yang rata. Karena itu cahaya yang menyentuh permukaan yang tidak rata itu akan terlihat membelok ke segala arah, tergantung kondisi permukaannya. Jika permukaannya naik, maka bayangan akan terlihat lebih pendek, jika permukaannya menurun, maka bayangannya akan memanjang. Jika kita memotretnya dari arah atas, tegak lurus, maka bayangannya akan terlihat mengarah ke arah yang sama. Namun karena foto diambil bukan dari atas, maka bayangannya akan terlihat menuju ke arah yang berbeda-beda.

Jikalau NASA memalsukannya dengan membuat rekaman di studio yang memiliki lebih dari satu sumber cahaya (lampu studio), maka bayangan satu objek akan muncul lebih dari satu.

Jejak kaki Edwin Aldrin

Jejak kaki Edwin Aldrin. Image credit: NASA
Edwin Aldrin meninggalkan jejak kaki yang begitu sempurna seakan-akan permukaan Bulan memiliki debu tanah yang bercampur air. Apabila permukaan Bulan kering, bagaimana mungkin Jejak itu terbentuk begitu sempurna, apalagi gravitasi Bulan hanya 1/6 bumi. Bahkan manusia seberat 200 kg pun tidak akan dapat meninggalkan jejak seperti itu.

Debu Bulan terdiri dari partikel-partikel yang terbentuk dari tabrakan-tabrakan dengan asteroid dan mikrometeorit. Setiap partikel membentuk debu yang memiliki permukaan kasar dan bergerigi. Ini menyebabkan jejak kaki dapat terbentuk dengan baik tanpa air. Lagipula, sebagian besar permukaan Bulan terdiri dari silika, materi unik yang dapat lengket satu sama lain dan membentuk rantai molekular panjang. Di bumi, Jejak seperti itu tidak dapat tercipta karena ada proses oksidasi, dimana oksigen akan segera mengisi serpihan rantai molekular, namun di Bulan, tidak ada oksigen sehingga jejak kaki yang sempurna dapat tercipta.

Mengenai berat dan gravitasi, memang berat di Bulan akan menjadi 1/6 berat di bumi. Tapi kita tahu bahwa massa selalu sama dimanapun di seluruh jagad (Rumus Newton, weight = mass x gravity). Inilah yang menyebabkan Aldrin dapat membuat jejak seperti itu.

Bendera yang berkibar

Gambar animasi hasil gabungan dua foto, terlihat Aldrin dan arah pemotretan berubah namun posisi bendera dan kerutannya sama. Itu artinya bendera tidak berkibar. Image credit: NASA
Fakta menunjukan bahwa tidak ada angin di Bulan. Namun pada sebuah foto, benderanya dapat berkibar.

Sebetulnya itu adalah cara NASA agar dapat terlihat sebuah bendera berkibar dari sebuah foto. Mereka menginginkan sebuah foto yang heroik dengan bendera Amerika yang terlihat dengan jelas, jadi mereka memasang sebuah pipa horizontal kecil di atas tiang. Hal ini menyebabkan tiang bendera tersebut berbentuk huruf L terbalik. Bendera itu tertahan oleh pipa horizontal dan kerutan pada bendera menciptakan efek berkibar.

Kawah yang diakibatkan oleh Wahana NASA

Apollo 16 Lunar Module ketika di Bulan. Image credit: NASA
Lunar Lander dapat mengeluarkan tenaga hingga 10.000 pound pada saat pendaratan dan keberangkatan. Namun, tidak ada kawah yang tercipta di Bulan. Padahal tenaga sebesar itu akan cukup untuk membuat sebuah lubang, seperti helikopter yang mendarat di padang pasir.

Hal ini terjadi karena Aktifitas Lunar Lander kebanyakan terjadi sebelum pendaratan di Bulan. Ribuan kaki di atas permukaan Bulan, Lunar Lander mengurangi kekuatan semburannya hingga hanya tinggal 3.000 pounds. Kekuatannya dikurangkan lagi ketika tinggal beberapa kaki di atas permukaan Bulan. Jadi kawah tidak mungkin terbentuk di permukaan Bulan. Lagipula permukaan Bulan bukan hanya terdiri dari debu saja, melainkan materi-materi keras yang disebut Lunar Regolith. Jadi tentu saja tidak akan ada kawah yang terbentuk.

Latar Belakang yang sama

Terdapat dua video klip yang menunjukkan dua bukit sama persis. Padahal NASA mengatakan bahwa dua klip itu diambil di dua lokasi yang berbeda.

Namun itu adalah sebuah kesalahan yang dilakukan oleh pemercaya teori konspirasi. Mereka mengambil klip tersebut dari film dokumenter yang ditayangkan di TV. Film dokumenter tersebut ternyata menggunakan klip yang salah. Kesalahan ini ditayangkan di TV dan klipnya diambil oleh para pemercaya teori konspirasi.

Batu dengan huruf "C" di atasnya

Foto dari misi Apollo 16 menunjukkan sebuah batu dengan huruf "C" di atasnya yang menyimbolkan tanda properti studio.
Huruf C di batu Bulan. Image credit: wikipedia.org
Foto asli batu, tidak ada huruf "C". Image credit: NASA
Pertanyaan ini telah diselidiki dan dijawab oleh sebuah web yang menginvestigasi anomali Bulan. Huruf C itu adalah akibat sehelai rambut yang tersangkut di kertas ketika foto itu diproses. Foto sama yang diproses berikutnya tidak menunjukkan huruf itu. Para pemercaya teori konspirasi mengambil foto ini dan menjadikannya senjata untuk menyerang NASA.

Crosshair yang menghilang di foto

Pembesaran tahun 1998 dengan scan berkualitas rendah - crosshair baik dan bagian dari strip merah memiliki "bleeded out". Image credit: wikipedia.org
Pada beberapa foto, terlihat "crosshair" menghilang di belakang objek. Seakan-akan NASA memanipulasi foto tersebut.

Pembesaran dari 2004 lebih berkualitas scan - crosshair dan strip merah terlihat. Image credit: wikipedia.org
Beberapa foto yang menunjukkan crosshair menghilang di belakang benda dapat dijawab dengan mudah. Jawabannya adalah resolusi kamera. Pencahayaan yang intens dengan resolusi kamera yang rendah menyebabkan crosshair menghilang ketika menyentuh benda terang. Ini adalah gejala umum dalam teknik fotografi. Foto NASA yang diproses dengan resolusi tinggi, tentu saja crosshair-nya tidak menghilang.

Objek yang seharusnya terlihat gelap

Foto Buzz Aldrin melangkah keluar dari modul lunar. Image credit: NASA
Pada beberapa foto, seperti seorang astronot yang turun dari Lunar Lander, harusnya astronot itu tidak terlihat sama sekali karena tertutup oleh Lunar Lander, namun foto tesebut malah menunjukkan detail yang luar biasa jelas.

Ini dikarenakan permukaan Bulan memantulkan cahaya dan cahaya ini memberikan penerangan tambahan terhadap objek. Diperkirakan permukaan Bulan merefleksi cahaya sebesar 340 lumens per kaki persegi. Ini ekivalen dengan lampu pijar seterang 35 watt. Cahaya ini akan merefleksi kepada hasil pemotretan.

Penjelasan lebih lanjut

Batu Bulan yang dibawa oleh Apollo 15 - lebih tua daripada batu di Bumi. Image credit: wikipedia.org
Terdapat argumen-argumen lain yang mendukung kebenaran pendaratan di Bulan. Misalnya, NASA tidak hanya sekali mengirimkan manusia ke Bulan. NASA mengirim Apollo 11, 12, 13, 14, 15, 16, 17 menuju Bulan. Apollo 13 gagal mendarat namun berhasil pulang dengan selamat. Apabila NASA memalsukan pendaratan Apollo 11, mengapa mereka harus mengirim misi lagi hingga Apollo 17. Padahal setelah Apollo 11, ketertarikan manusia terhadap Bulan sudah berkurang jauh. Banyak orang yang percaya teori hoax Bulan mengatakan mengapa setelah Neil Armstrong tidak ada lagi pendaratan ke Bulan. Ini adalah pernyataan yang menyesatkan. Sesungguhnya Total astronot yang mendarat dan berjalan kaki di Bulan ada 12 astronot (2 astronot untuk masing-masing Apollo). Setelah 1972 tidak ada lagi misi ke Bulan karena Amerika mengalami beberapa kali resesi yang menyebabkan anggaran NASA dipotong oleh pemerintah Amerika.

Selain itu, para astronot membawa sampel batu Bulan seberat 382 kilogram dengan lebih dari 2.000 sampel yang terpisah. Sampel-sampel itu saat ini diteliti oleh para ilmuwan diseluruh dunia. Adalah mustahil NASA mampu membuat batu Bulan tiruan mengingat batu Bulan memiliki karakteristik unik dimana ia terbentuk di lingkungan tanpa oksigen. Hingga saat ini, hanya ada 25 sampel meteorit Bulan yang dimiliki (diluar 382 kg sampel yang dibawa pulang astronot). Dan batu tersebut telah dibandingkan dan ternyata memiliki karakteristik yang sama.

Pada saat peluncuran misi Apollo 11, ada sekitar 3.500 wartawan dari seluruh dunia di Kennedy Space Center yang mengikuti proses peluncuran hingga pendaratan di Bulan hingga kembali ke bumi. Selain itu, lebih dari 400.000 karyawan bekerja pada proyek Apollo 11 hampir 10 tahun. (wikipedia.org)